Pages

Kamis, 18 Desember 2014

Pahlawan Daerah Kalbar (Jilid 1)



“BANGSA YANG BESAR ADALAH BANGSA YANG MENGHARGAI JASA-JASA PARA PAHLAWANNYA”
Yaa .. Kalimat di atas memang sudah tidak asing lagi kita dengar, namun apakah kita sudah termasuk bangsa yg sudah menghargai jasa-jasa para pahlawan ???
Tidak bisa dipungkiri, dari jasa-jasa para pahlawan terdahulu lah kita bisa hidup seperti sekarang ini (tenang, bebas, tidak diliput kekalutan dan ketakutan). Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini saya ingin berbagi kepada pembaca agar lebih mengenal para pahlawan (khususnya Pahlawan yang berasal/berjuang di Daerah Kalimantan Barat) sebagai bekal untuk bisa diceritakan kepada generasi-generasi selanjutnya.

1.      Syarif Abdul Hamid Alkadrie ( Sultan Hamid II )



Syarif Abdul Hamid Alkadrie atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sultan Hamid II adalah putra sulung dari Sultan Pontianak, yaitu Sultan Syarif Muhammad Alkadrie.
Sultan Hamid II lahir di Pontianak (Kalimantan Barat) tanggal 12 Juli 1913 & beliau wafat di Jakarta, pada tanggal 30 Maret 1978 (umur 64 tahun). Beliau adalah Perancang
Lambang Negara Republik Indonesia (Garuda Pancasila). Dalam tubuhnya mengalir darah Arab-Indonesia. Ia beristrikan seorang perempuan Belanda, yang memberikannya dua anak yang sekarang tinggal di Negeri Belanda.


a.       Pendidikan dan Karier
Sultan Hamid II menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.

b.      Masa Pendudukan Jepang
Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalimantan Barat dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda. Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.

c.       Menteri Negara dan Keterlibatan dalam Kudeta APRA
Pada tanggal 17 Desember 1949, Hamid II diangkat oleh Sukarno ke Kabinet RIS tetapi tanpa adanya portofolio. Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta dan termasuk 11 anggota berhaluan Republik dan lima anggota berhaluan Federal. Pemerintahan federal ini berumur pendek karena perbedaan pendapat dan kepentingan yang bertentangan antara golongan Republik dan Federalis serta berkembangnya dukungan rakyat untuk adanya negara kesatuan.
Hamid II kemudian bekerjasama dengan mantan Kapten DST (Pasukan Khusus) KNIL Raymond Westerling yang terkenal atas kebrutalannya dalam peristiwa Pembantaian Westerling untuk mengatur sebuah kudeta anti-Republik di Bandung dan Jakarta. Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin Westerling terdiri dari personel-personel KNIL, Regiment Speciale Troepen (Resimen Pasukan Khusus KNIL), Tentara Kerajaan Belanda dan beberapa warga negara Belanda termasuk dua inspektur polisi. Pada tanggal 23 Januari 1950, APRA menyerang sebuah garnisun RIS kecil dan menduduki bagian-bagian Bandung sampai mereka akhirnya diusir oleh bala bantuan tentara di bawah Mayor Jenderal Engels, pimpinan KNIL.
Pada tanggal 26 Januari 1950, unsur-unsur pasukan Westerling menyusup ke Jakarta sebagai bagian dari kudeta untuk menggulingkan Kabinet RIS. Mereka juga berencana untuk membunuh beberapa tokoh Republik terkemuka, termasuk Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwana IX dan Sekretaris-Jenderal Ali Budiardjo. Namun, mereka kemudian dihadang oleh pasukan TNI dan terpaksa melarikan diri. Sementara itu, Westerling terpaksa mengungsi ke Singapura dan APRA akhirnya berhenti berfungsi pada Februari 1950.
Bukti dari konspirator Kudeta APRA yang ditangkap menyebabkan penahanan Sultan Hamid II pada tanggal 5 April. Pada 19 April Hamid II telah mengaku keterlibatannya dalam kudeta Jakarta gagal dan dalam merencanakan serangan kedua di Parlemen (dijadwalkan 15 Februari) yang gagal. Karena kehadiran tentara RIS, serangan itu dibatalkan. Peran pemerintah Pasundan dalam kudeta menyebabkan pembubarannya pada tanggal 10 Februari, yang semakin melemahkan struktur federal RIS. Pada akhir Maret 1950, Kalimantan Barat yang dipimpin Hamid II menjadi salah satu dari empat negara bagian yang tersisa di Republik Indonesia Serikat.
Peran Hamid II dalam kudeta yang gagal tersebut menyebabkan keresahan yang meningkat di Kalimantan Barat untuk segera berintegrasi ke dalam Republik Indonesia. Setelah sebuah misi pencari fakta oleh Komisi Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat RIS mengumumkan hasil pemungutan suara bulat dengan selisih 50 dibanding satu suara yang menyetujui integrasi Kalimantan Barat ke dalam Republik Indonesia. Setelah bentrokan dan konflik yang ditimbulkan para mantan pasukan KNIL terjadi di Makassar dan usaha pemisahan diri Ambon menjadi Republik Maluku Selatan, akhirnya Republik Indonesia Serikat dibubarkan pada 17 Agustus 1950, mengubah Indonesia menjadi negara kesatuan yang didominasi oleh pemerintahan pusat di Jakarta.


d.      Perumusan Lambang Negara (Garuda Pancasila)
Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabehi Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.


(Rancangan awal Garuda Pancasila oleh Sultan Hamid II, berbentuk Garuda tradisional yang bertubuh manusia)

Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.
Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika".
Pada tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali - Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri.


(Garuda Pancasila yang diresmikan 11 Februari 1950, tanpa jambul dan posisi cakar masih di belakang pita)

AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Departemen Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “'tidak berjambul”' seperti bentuk sekarang ini.
Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes, Jakarta pada 15 Februari 1950.
Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno.
Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.
Hamid II diberhentikan pada 5 April 1950 karena tuduhan bersekongkol dengan Westerling dan APRA-nya.

e.      Masa Akhir
Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah, Pontianak.
Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.
Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.
( Sumber : http://id.wikipedia.org )

2.      Pangeran Nata Kusuma
Pangeran Nata Kesuma merupakan salah seorang tokoh pejuang dari kerajaan Landak yang menentang penjajahan Belanda di Kalimantan Barat. Nama aslinya adalah Gusti Abdurrani. Ia putera dari Panembahan Gusti Abdul Majid yang memerintah kerajaan Landak pada tahun 1872-1875. Sejak masa mudanya, Pangeran Nata Kesuma telah mempunyai sifat-sifat yang baik, ramah tamah, suka menolong dan selalu dekat dengan rakyat. Pangeran Nata Kesuma sangat menentang kehadiran Belanda di kerajaan Landak terutama berkenaan dengan adanya kontrak kerjasama antara kerajaan Landak dan Belanda yang isinya lebih banyak merugikan kepentingan kerajaan Landak dan rakyatnya.

Kontrak kerjasama antara kerajaan Landak dengan Belanda dimulai pertama kali pada tanggal 31 Mei 1845 semasa pemerintahan Panembahan Machmud Akamuddin. Perjanjian tersebut dilanjutkan dengan ditandatanganinya kontrak kerjasama yang baru pada tanggal 17 Juli 1859, sewaktu kerajaan Landak diperintah oleh Panembahan Ratu Adi Kesuma Amaruddin. Perjanjian tahun 1859 ini dikenal dengan nama Lange Contract 1859. Kemudian semasa pemerintahan wakil Panembahan Pangeran Wiranata, pada tanggal 5 Juli 1883 diadakan lagi kontrak kerjasama yang baru antara kerajaan Landak dengan Belanda. Perjanjian ini diperbaharui lagi pada masa pemerintahan wakil Panembahan Landak Pangeran Mangkubumi Gusti Bujang dengan ditandatanganinya Politiek Contract bertanggal 8 Oktober 1909.
Dari berbagai kontrak kerjasama yang pertama sampai dengan Politiek Contract menunjukkan bahwa semua kontrak itu secara berangsur-angsur telah mempersempit ruang gerak dan kekuasaan kerajaan Landak. Hal tersebut dibuktikan dari isi kontrak yang merugikan kerajaan Landak antara lain :
1. Administrasi kerajaan Landak dipegang langsung oleh pemerintah Belanda, yang dikuasakan langsung kepada Controlour. Jabatan Menteri dihapuskan, jabatan Pembekal diubah menjadi Kepala Distrik dan jabatan Panembahan hanya berfungsi sebagai mandor saja;
2. Apanage dihapuskan dan diganti dengan belasting yang harus dibayar dalam bentuk uang;
3. Di samping membayar belasting, rakyat juga diwajibkan melakukan kerja rodi selama 20 hari dalam setahun;
4. Pajak 10% dikenakan untuk hasil hutan dan pajak cukai bagi penambangan emas dan intan;
5. Perjanjian Dua Belas Perkara yang dibuat oleh Raja Abdulkahar Ismahayana dengan saudara seibunya Ria Kanuhanjaya dihapuskan;
6. Hukum Adat mulai disingkirkan dan Pengadilan Negeri mulai diterapkan.

Hal tersebut di atas membuat rakyat kerajaan Landak menderita. Di samping itu terjadi pula perpecahan di antara keluarga kerajaan Landak antara yang pro dan kontra dengan kehadiran Belanda. Melihat keadaan demikian, Pangeran Nata Kesuma yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri di kerajaan Landak merasa sangat sedih dan prihatin.
Pangeran Nata Kesuma merasa tidak senang dengan kehadiran Belanda di kerajaan Landak karena dinilainya telah merugikan pihak kerajaan Landak sehingga rakyat menjadi sengsara dan terjadi perpecahan di antara keluarga kerajaan. Pangeran Nata Kesuma kemudian merencanakan perlawanan terhadap Belanda di kerajaan Landak. Dengan dibantu oleh Ja’ Bujang yang bergelar Wedana Jaya Kesuma dan beberapa orang kepercayaannya, yakni :
Panglima Ganti, Panglima Bida, Panglima Daud dan Panglima Anggui, Pangeran Nata Kesuma secara diam-diam mengorganisir suatu perlawanan terhadap Belanda. Pangeran Nata Kesuma kemudian mengirimkan damak (sejenis tongkat komando) ke seluruh rakyat di pelosok kerajaan Landak. Pengiriman damak tersebut dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar dukungan dan sambutan rakyat kerajaan Landak dalam mendukung rencana Pangeran Nata Kesuma menghadapi Belanda. Rakyat kerajaan Landak menyambut dengan semangat ajakan dari Pangeran Nata Kesuma yang berniat melawan Belanda. 

Pemberontakan Pangeran Nata Kesuma berlangsung selama 2 tahun, yakni tahun 1913-1914. Pemberontakan ini membuat Belanda kewalahan. Untuk meredam pemberontakan, Belanda mengatur siasat untuk menangkap Pangeran Nata Kesuma. Setelah mendatangkan bantuan pasukan dari Pontianak, Belanda menyerbu ke tempat persembunyian Pangeran Nata Kesuma. Dengan menggunakan kapal Kahar, pasukan Belanda langsung mendarat dan mengepung Istana Pedalaman dan menangkap Pangeran Nata Kesuma.
Selanjutnya Belanda membawa Pangeran Nata Kesuma dengan kapal menyusuri sungai Landak menuju ke kampung Munggu (± 8 km dari Ngabang) menuju lokasi basis pertahanan rakyat pengikut Pangeran Nata Kesuma. Siasat Belanda dengan membawa Pangeran Nata Kesuma di atas kapal dimaksudkan untuk menunjukkan kepada para pemberontak/pengikut Pangeran Nata Kesuma bahwa perdamaian antara Belanda dengan Pangeran Nata Kesuma telah tercapai. Pangeran Nata Kesuma sempat memberikan isyarat dengan tangannya kepada pengikutnya supaya perlawanan diteruskan. Tetapi hal itu telah salah ditafsirkan oleh para pengikutnya sehingga tidak terdengar bunyi tembakan sebagai tanda adanya perlawanan terhadap Belanda.

Demikianlah Belanda telah berhasil menjalankan siasatnya. Perang yang telah berkobar selama dua tahun dapat dihentikan. Meskipun telah banyak korban berguguran, baik dari pihak rakyat maupun Belanda, namun dengan dapat dihentikannya peperangan / pemberontakan ini pihak Belanda merasa lega sehingga roda pemerintahan kolonial dapat berjalan kembali. Setelah perjuangan fisik bersenjata pada tahun 1913-1914 tersebut, semangat perjuangan rakyat Landak masih tetap terus menyala, tetapi berhubung dengan situasi tidak mengijinkan, maka perjuangan lebih diarahkan kepada gerakan nasional.
Setelah ditangkap oleh Belanda, Pangeran Nata Kesuma kemudian diadili. Pengadilan Belanda di Batavia memutuskan bahwa Pangeran Nata Kesuma harus menjalani hukuman pembuangan ke Bengkulu. Sementara nasib pengikut Pangeran Nata Kesuma adalah sebagai berikut, Panglima Ganti dihukum 20 tahun penjara, Pangeran Daud melarikan diri ke Serawak Malaysia serta Panglima Bida dan Panglima Anggui tidak diketahui bagaimana nasibnya.
Dalam pengasingannya di Bengkulu, Pangeran Nata Kesuma diikuti oleh dua orang istrinya yaitu Encik Hajjah dan Nyimas Ahim serta beberapa puteranya diantaranya Gusti Affandi. Selama pengasingannya, Pangeran Nata Kesuma tidak pernah menerima bantuan keuangan dari pemerintah Belanda. Ia mencari nafkah untuk membiayai kebutuhan sendiri.

Pangeran Nata Kesuma meninggal dunia di kampung Kelawi Bengkulu pada tahun 1920 dan dimakamkan di kampung tersebut. Masyarakat setempat di Bengkulu mengenal makam Pangeran Nata Kesuma sebagai makam Raja Borneo. Kerangka jenazah Pangeran Nata Kesuma dimakamkan kembali di kompleks pemakaman keluarga raja-raja Landak pada tanggal 27 September 1981 di Ngabang.
Sikap dan perbuatan Pangeran Nata Kesuma dalam menentang penjajah Belanda patut dijadikan teladan. Tekad dan keputusannya dalam berjuang tetap kokoh walaupun Pangeran Nata Kesuma menyadari bahwa ia dan pengikutnya hanya bermodalkan senjata tradisional menghadapi pasukan Belanda yang bersenjata lebih modern. Namun, terbukti pemberontakan yang dilakukannya mampu membuat Belanda kewalahan. Generasi muda sebagai generasi penerus bangsa, hendaknya mewarisi jiwa dan semangat anti penjajahan yang dimiliki oleh Pangeran Nata Kesuma. Rela berkorban demi tegaknya keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak.
( Sumber : http://kjuniardi.blogspot.com )

3.      Dr. Soedarso
Dokter Soedarso merupakan salah seorang tokoh pejuang di Kalimantan Barat. Ia lahir pada tanggal 29 November 1906 di kota Pacitan Jawa Timur. Ayahnya seorang asisten wedana yang bernama Atmosoebroto. Dalam keluarganya Soedarso merupakan anak yang keenam dari sebelas bersaudara.

Soedarso kecil menyelesaikan sekolah dasarnya di Europesche Legere School (ELS) di kota Madiun. Kemudian ia mendaftar ke School Tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA) di Jakarta. Selama menjadi mahasiswa, ia aktif sebagai anggota gerakan pemuda pelajar nasional yang disebut Jong Java. Ia duduk sebagai staf redaksi surat kabar Jong Java selama lima tahun (1925 – 1930), sampai Jong Java bersama dengan organisasi pemuda lainnya seperti Jong Sumatera, Jong Ambon, Jong Minahasa dilebur menjadi Indonesia Muda. Pada tahun 1931, ia berhasil menamatkan sekolahnya di STOVIA Jakarta dan berhak menyandang gelar dokter. Setelah lulus dari STOVIA, ia langsung diangkat sebagai dokter pemerintah kolonial di Centrale Burgerlijke Ziekem Inrichtng (CBZ) atau Rumah Sakit Umum Pemerintah di Semarang. Pada bulan Maret 1932, ia berpindah tugas dari Semarang ke Bentang di Pulau Selayar, Sulawesi Selatan. Setelah empat tahun bertugas di Pulau Selayar, pada bulan Februari 1936, ia berpindah tugas lagi ke CBZ Surabaya. Dua tahun kemudian atau tepatnya pada bulan Februari 1938, dokter Soedarso dipindahkan tugasnya dari Surabaya ke Kalimantan Barat.

Sewaktu Jepang masuk ke Kalimantan Barat pada tahun 1942, dokter Soedarso sedang bertugas di daerah Sanggau Kalimantan Barat. Tentara Jepang kemudian menyerbu pasukan Belanda yang ada di Sanggau. Serangan tentara Jepang di Sanggau mengakibatkan timbulnya korban jiwa dan luka-luka di pihak pasukan Belanda. Dalam situasi kedua pihak yang masih saling bertempur, dokter Soedarso dengan penuh keberanian melakukan pengobatan terhadap korban pasukan Belanda yang terluka.
Sebagai salah satu strategi pendudukannya di Kalimantan Barat, tentara Jepang melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap dokter-dokter yang ada di Kalimantan Barat. Tentara Jepang beralasan bahwa penangkapan terhadap dokter-dokter itu dilakukan karena mereka telah menyebarkan wabah penyakit di Kalimantan Barat. Dalam usaha penangkapan itu, dokter Soedarso berhasil meloloskan diri karena pada saat itu ia sedang bertugas di daerah pedalaman dan berhasil disembunyikan oleh penduduk. Dokter Soedarso tidak tertangkap oleh tentara Jepang namun mereka berhasil menangkap dokter Sunaryo, dokter Agusjam, dokter Ismail, dokter Diponegoro, dokter Zakir dan dokter Rubini. Tentara Jepang kemudian membunuh para dokter yang tertangkap itu.

Pada bulan Maret 1944, dokter Soedarso pindah ke Singkawang. Selanjutnya pada tahun 1945 ia pindah lagi ke Pontianak dan menjabat sebagai Direktur Rumah Sakit Umum Sungai Jawi Pontianak. Setelah berakhirnya pendudukan Jepang di Indonesia akibat kekalahan tentara Jepang melawan pasukan Sekutu dalam perang Asia Timur Raya, bangsa Indonesia masih harus menghadapi orang-orang Belanda yang ingin kembali menjajah bangsa Indonesia. Orang-orang Belanda yang tergabung dalam Nederlands Indie Civil Administration (NICA) datang ke Indonesia dengan membonceng pasukan Sekutu yang akan melucuti persenjataan tentara Jepang. Pada masa kedatangan Belanda ini, dokter Soedarso selain bertugas di Rumah Sakit Umum Sungai Jawi Pontianak juga bertugas sebagai dokter pemerintah di Balai Pengobatan Umum Kampung Bali dan dokter di Rumah Sakit Jiwa Pontianak. Selain bertugas sebagai dokter di Pontianak, ia juga bertugas di daerah Mempawah dan Ngabang.

Pada tanggal 29 September 1945, tentara Australia sebagai perwakilan pasukan Sekutu mendarat di Pontianak. Dalam menyikapi kedatangan pasukan Sekutu yang diwakili tentara Australia tersebut, maka pada tanggal 15 Oktober 1945 dokter Soedarso memimpin rapat umum di lapangan Kebun Sayur Pontianak dan menyampaikan resolusi kepada tentara Australia yang isinya menolak kembali kedatangan orang-orang Belanda yang tergabung dalam NICA di Kalimantan Barat. Dokter Soedarso kemudian menggerakkan massa beramai-ramai dari Kebun Sayur menuju ke kediaman Residen Pontianak. Dokter Soedarso dan Massa mengharap agar Residen Pontianak yang bernama Asikin Nur tidak menyerahkan kekuasaannya kepada NICA. Namun usulan ini ditolak oleh Residen Asikin Nur. Setelah tentara Australia meninggalkan Pontianak, Residen Asikin Nur menyerahkan kekuasaannya kepada Van Der Zwaal dari NICA. Penyerahan kekuasaan Residen Pontianak dari Residen Asikin Nur kepada NICA ini mendapat tentangan dari masyarakat Pontianak dan sekitarnya. Sebagai bentuk protes, sebagian besar pegawai pemerintahan di kota Pontianak beramai-ramai melakukan mogok kerja, termasuk dokter Soedarso. Akibat pemogokan kerja secara massal ini Belanda mengalami kesulitan dalam menjalankan pemerintahannya. Untuk mengatasinya Belanda kemudian menangkap beberapa tokoh politik yang dianggap berbahaya dan sebagai otak penggerak terjadinya pemogokan massal. Mereka yang ditangkap antara lain dokter Soedarso, Radjikin dan Muzani Abdul Rani. Mereka ditangkap dan ditahan di penjara Sei Jawi Pontianak. Namun akhirnya mereka dibebaskan tanpa syarat.
Belanda kemudian mengeluarkan kebijakan dengan mengangkat Sultan Hamid II sebagai Sultan Pontianak. Setelah diangkat sebagai Sultan Pontianak, Sultan Hamid II menghendaki agar Kalimantan Barat menjadi sebuah negara federasi dan tidak bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap dan keputusan Sultan Hamid II tersebut mendapat tentangan dari dokter Soedarso dan kawan-kawannya yang tergabung dalam organisasi Pemuda Penyongsong Republik Indonesia (PPRI). Organisasi PPRI sendiri menghendaki agar Kalimantan Barat bergabung ke dalam negara Republik Indonesia yang baru merdeka.
Untuk menghadapi Belanda di Kalimantan Barat, selain dengan perjuangan fisik juga dilakukan perjuangan diplomasi. Sebagai wadah perjuangan diplomasi maka terbentuklah organisasi Gabungan Persatuan Indonesia (GAPI) pada tanggal 16 Desember tahun 1946 yang diketuai oleh dokter Soedarso. Organisasi ini menentang usul Sultan Hamid II yang akan membentuk negara Kalimantan Barat. Belanda kemudian khawatir kegiatan politik GAPI akan berkembang luas dan semakin mendapat dukungan masyarakat. Oleh karena itu, Belanda segera menangkap dokter Soedarso sebagai ketua GAPI pada tanggal 29 Februari 1948 dan menahannya di penjara Cipinang Jakarta dengan masa hukuman 6 tahun penjara. Setelah dokter Soedarso ditahan di Cipinang Jakarta, GAPI kemudian membentuk suatu panitia dengan nama ”Panitia Urusan Dokter Soedarso”. Pada tanggal 30 Maret 1948, GAPI mengutus M. A. Rani ke Jakarta untuk mengurus soal kasasi dokter Soedarso, tetapi usaha ini tidak berhasil. Walaupun dokter Soedarso dalam masa penahanan, namun dukungan politik yang diberikan kepadanya tetap mengalir. Hal ini dapat dibuktikan sewaktu diadakan pemilihan anggota Dewan Kalimantan Barat (DKB) pada tanggal 23 maret 1948, dimana dokter Soedarso meraih suara terbanyak.

Dokter Soedarso bebas dari penjara Cipinang Jakarta setelah terjadi kesepakatan dalam perjanjian Roem Royen pada akhir tahun 1949. Setelah bebas dari penjara, ia pada tanggal 5 Januari 1950 dicalonkan sebagai Kepala Daerah Kalimantan Barat menggantikan Sultan Hamid II, tetapi pemerintah Dewan Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) menolak usulan tersebut. Dokter Soedarso kemudian terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) mewakili daerah Kalimantan Barat. Dokter Soedarso yang menjadi anggota tim peninjau dari komisi DPRS pernah dikirim ke Kalimantan Barat untuk menyelidiki kasus huru-hara dan pemogokan oleh masyarakat Pontianak terhadap Sultan Hamid II yang menolak kedatangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Kalimantan Barat.
Pada tahun 1952, saat pelantikan R.M. Soeprapto menjadi Residen Kalimantan Barat oleh Menteri Dalam Negeri M. Roem, S.H, dokter Soedarso diminta untuk memberikan kata sambutan. Dalam acara yang juga dihadiri oleh Gubernur Kalimantan Barat dokter Murjani, dokter Soedarso melontarkan keinginannya agar Kalimantan Barat menjadi sebuah propinsi tersendiri. Usul dokter Soedarso tersebut diterima dan kemudian terbentuklah Propinsi Kalimantan Barat pada tanggal 29 Januari tahun 1957.

Selanjutnya pada tahun 1958-1960, Gubernur R.D. Asikin dan Kolonel Sudharmo memilih dokter Soedarso sebagai anggota Dewan Perencanaan Nasional (DEPERNAS) mewakili Kalimantan Barat. Dalam rapat DEPERNAS, dokter Soedarso mengusulkan agar pemerintah Indonesia melakukan program transmigrasi ke Kalimantan Barat mengingat penduduknya masih jarang. Usulan program transmigrasi ke Kalimantan Barat ini diterima dan berjalan dengan baik. Kemudian pada tahun 1960-1966, dokter Soedarso dipilih sebagai anggota MPRS oleh DPRD tingkat I Kalimantan Barat. Di dalam MPRS, dokter Soedarso mengusulkan agar badan-badan yang mempunyai bidang yang sama dalam pemerintahan sebaiknya dilebur menjadi satu badan saja demi penghematan tenaga, waktu dan uang. Selain berkecimpung dalam dunia politik, dokter Soedarso sebagai seorang dokter juga aktif dalam kegiatan sosial kemanusiaan. Pada tahun 1953, ia diangkat sebagai direktur sekaligus ketua Yayasan Rumah Sakit Bersalin Pontianak sampai tahun 1976. Selama kepemimpinannya, keadaan Rumah Sakit Bersalin Pontianak mengalami kemajuan. Segala fasilitas ruangan dan peralatan telah dilengkapi sehingga kini menjadi salah satu rumah sakit bersalin yang besar di Pontianak.

Pada tahun 1955, dokter Soedarso mendirikan Sekolah Pendidikan Bidan di Pontianak. Sekolah ini dibuka karena masih kurangnya tenaga bidan di Kalimantan Barat. Selain itu, ia juga melakukan perubahan status pendidikan perawat di Rumah Sakit Umum Sei Jawi dari pendidikan kursus Juru Rawat menjadi Sekolah Perawat. Di luar kota Pontianak, ia mendirikan Sekolah Juru Kesehatan di daerah Sintang dan Ketapang. Sedangkan di Pemangkat, dokter Soedarso dikenal sebagai pendorong berdirinya sebuah rumah sakit swasta yang dalam penggunaannya kemudian diserahkan kepada Pemerintah Daerah.
Dokter Soedarso merupakan salah seorang perintis berdirinya sekolah kejuruan di Pontianak, diantaranya SMEA Negeri, Kursus Guru Taman Kanak-kanak dan SKKA Negeri Pontianak. Pada tahun 1958 sampai 1974, Departemen Kesehatan mengangkat dokter Soedarso sebagai Inspektur Kesehatan di Kalimantan Barat dan merangkap sebagai ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Kalimantan Barat. Di bidang pendidikan umum, ia juga dikenal sebagai salah seorang pelopor pendirian Universitas Tanjungpura (UNTAN) pada tahun 1959.
Partisipasi dokter Soedarso dalam bidang kesehatan dan sosial di Kalimantan Barat cukup besar. Oleh karenanya, pada tahun 1971, Pangdam XII Tanjung Pura Soemadi, memberikan anugerah Tanda Penghargaan ”Satya Lanjtana Dharma Pala” kepada dokter Soedarso atas jasanya dalam bidang kesehatan sewaktu menumpas gerakan PGRS di Kalimantan Barat. Kemudian pada tahun 1975, ia mendapatkan penghargaan tanda ”Satya Lancana Kebaktian Sosial” dari Departemen Sosial Kalimantan Barat.
Dalam kehidupan keluarga, dokter Soedarso pernah menikah dua kali. Pernikahannya yang pertama dengan Soetitah dan dikaruniai tujuh orang anak. Ketujuh orang anak dokter Soedarso yang lahir dari perkawinannya dengan Soetitah bernama Agus Sutiarso, Agus Setiadi, Andarwini, Sriyati Supranggono, Sri Rezeki Norodjati, Agus Setiawan dan Sri Astuti Suparmanto. Sedangkan pernikahannya yang kedua dengan Hartati pada tahun 1962 setelah istri pertamanya meninggal dunia. Dari pernikahannya yang kedua, dokter Soedarso dikaruniai seorang orang anak perempuan bernama Savitri Tri Haryono.
Pada usia 69 tahun dokter Soedarso meninggal dunia karena sakit. Dokter Soedarso meninggal pada hari Senin tanggal 8 Maret 1976 di Rumah Sakit Sei Jawi Pontianak. Beliau dimakamkan di pemakaman Muslim di Kampung Bangka Pontianak.

Dokter Soedarso adalah seorang tokoh yang ulet dan berwawasan luas. Jasa dan pengabdiannya begitu besar untuk masyarakat Kalimantan Barat sehingga generasi muda sebagai generasi penerus bangsa diharapkan mampu mengikuti jejak-jejaknya. Sikap dan perjuangannya layak menjadi teladan bagi generasi muda penerus bangsa.
( Sumber : http://equatoronline.blogspot.com )


Mungkin untuk kesempatan kali ini, cukup 3 Tokoh (Pahlawan) dulu yang di share .. dan tentunya akan saya sambung pada kesempatan yang akan datang .. karena masih banyak tokoh-tokoh atau pahlawan Kalimantan Barat yang mestinya kita ketahui ( untuk pengetahuan ).

Salam Sukses Buat Kita semua .. !!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan sopan & baik