“BANGSA YANG BESAR ADALAH BANGSA YANG MENGHARGAI
JASA-JASA PARA PAHLAWANNYA”
Yaa .. Kalimat di atas memang sudah tidak asing
lagi kita dengar, namun apakah kita sudah termasuk bangsa yg sudah menghargai
jasa-jasa para pahlawan ???
Tidak bisa dipungkiri, dari jasa-jasa para pahlawan
terdahulu lah kita bisa hidup seperti sekarang ini (tenang, bebas, tidak
diliput kekalutan dan ketakutan). Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini saya
ingin berbagi kepada pembaca agar lebih mengenal para pahlawan (khususnya
Pahlawan yang berasal/berjuang di Daerah Kalimantan Barat) sebagai bekal untuk
bisa diceritakan kepada generasi-generasi selanjutnya.
Syarif Abdul
Hamid Alkadrie atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sultan Hamid II adalah putra
sulung dari Sultan Pontianak, yaitu
Sultan Syarif
Muhammad Alkadrie.
Sultan Hamid
II lahir di Pontianak
(Kalimantan Barat) tanggal 12 Juli
1913 & beliau
wafat di Jakarta,
pada tanggal 30 Maret
1978 (umur 64 tahun). Beliau
adalah Perancang
Lambang Negara Republik Indonesia (Garuda Pancasila). Dalam tubuhnya mengalir darah Arab-Indonesia. Ia beristrikan seorang perempuan Belanda, yang memberikannya dua anak yang sekarang tinggal di Negeri Belanda.
Lambang Negara Republik Indonesia (Garuda Pancasila). Dalam tubuhnya mengalir darah Arab-Indonesia. Ia beristrikan seorang perempuan Belanda, yang memberikannya dua anak yang sekarang tinggal di Negeri Belanda.
a.
Pendidikan dan Karier
Sultan Hamid II menempuh pendidikan ELS di Sukabumi,
Pontianak, Yogyakarta,
dan Bandung.
HBS di Bandung satu tahun,
THS Bandung tidak tamat,
kemudian KMA di Breda, Belanda
hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara
Hindia
Belanda.
b.
Masa Pendudukan Jepang
Ketika Jepang
mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret
1942, ia tertawan dan
dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi
kolonel.
Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober
1945 dia diangkat menjadi
sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam
perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan
penting sebagai wakil daerah istimewa Kalimantan Barat dan selalu turut dalam
perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia
dan Belanda. Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in
Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan
orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.
c.
Menteri Negara dan Keterlibatan dalam Kudeta APRA
Pada tanggal 17 Desember
1949, Hamid II diangkat
oleh Sukarno ke Kabinet RIS tetapi tanpa
adanya portofolio. Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad
Hatta dan termasuk 11 anggota berhaluan Republik dan lima anggota
berhaluan Federal. Pemerintahan federal ini berumur pendek karena perbedaan
pendapat dan kepentingan yang bertentangan antara golongan Republik dan
Federalis serta berkembangnya dukungan rakyat untuk adanya negara
kesatuan.
Hamid II kemudian bekerjasama dengan
mantan Kapten DST (Pasukan Khusus) KNIL Raymond Westerling yang terkenal atas
kebrutalannya dalam peristiwa Pembantaian Westerling untuk mengatur
sebuah kudeta
anti-Republik di Bandung dan Jakarta. Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang
dipimpin Westerling terdiri dari personel-personel KNIL, Regiment Speciale Troepen (Resimen
Pasukan Khusus KNIL), Tentara
Kerajaan Belanda dan beberapa warga negara Belanda termasuk dua
inspektur polisi. Pada tanggal 23 Januari 1950, APRA menyerang
sebuah garnisun RIS kecil dan menduduki bagian-bagian Bandung sampai mereka
akhirnya diusir oleh bala bantuan tentara di bawah Mayor Jenderal Engels,
pimpinan KNIL.
Pada tanggal 26 Januari
1950, unsur-unsur pasukan
Westerling menyusup ke Jakarta sebagai bagian dari kudeta untuk menggulingkan
Kabinet RIS. Mereka juga berencana untuk membunuh beberapa tokoh Republik
terkemuka, termasuk Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwana
IX dan Sekretaris-Jenderal Ali Budiardjo.
Namun, mereka kemudian dihadang oleh pasukan TNI dan terpaksa melarikan diri.
Sementara itu, Westerling terpaksa mengungsi ke Singapura
dan APRA akhirnya berhenti berfungsi pada Februari 1950.
Bukti dari konspirator Kudeta APRA
yang ditangkap menyebabkan penahanan Sultan Hamid II pada tanggal 5 April.
Pada 19 April
Hamid II telah mengaku keterlibatannya dalam kudeta Jakarta gagal dan dalam
merencanakan serangan kedua di Parlemen (dijadwalkan 15 Februari) yang gagal.
Karena kehadiran tentara RIS, serangan itu dibatalkan. Peran pemerintah Pasundan dalam kudeta menyebabkan
pembubarannya pada tanggal 10 Februari, yang semakin melemahkan struktur
federal RIS. Pada akhir Maret 1950, Kalimantan
Barat yang dipimpin Hamid II menjadi salah satu dari empat negara
bagian yang tersisa di Republik Indonesia Serikat.
Peran Hamid II dalam kudeta yang gagal
tersebut menyebabkan keresahan yang meningkat di Kalimantan Barat untuk segera
berintegrasi ke dalam Republik Indonesia. Setelah sebuah misi pencari
fakta oleh Komisi Pemerintah, Dewan
Perwakilan Rakyat RIS mengumumkan hasil pemungutan suara bulat
dengan selisih 50 dibanding satu suara yang menyetujui integrasi Kalimantan
Barat ke dalam Republik Indonesia. Setelah bentrokan dan konflik yang
ditimbulkan para mantan pasukan KNIL terjadi di Makassar
dan usaha pemisahan diri Ambon menjadi Republik Maluku Selatan, akhirnya Republik Indonesia Serikat dibubarkan pada
17 Agustus
1950, mengubah Indonesia
menjadi negara kesatuan yang didominasi oleh
pemerintahan pusat di Jakarta.
d.
Perumusan Lambang Negara (Garuda Pancasila)
Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia
diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan
menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan
merumuskan gambar lambang negara. Tanggal 10 Januari
1950 dibentuk Panitia
Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara
di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan
susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad
Natsir, dan RM Ngabehi Poerbatjaraka sebagai anggota.
Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih
dan diajukan kepada pemerintah.
(Rancangan awal Garuda Pancasila oleh
Sultan Hamid II, berbentuk Garuda tradisional yang bertubuh manusia)
Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung
Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono
melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu
karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima
pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak
karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.
Setelah rancangan terpilih, dialog
intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana
Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan
itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram
Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan
"Bhineka Tunggal Ika".
Pada tanggal 8 Februari
1950, rancangan final
lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada
Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan
dari Partai Masyumi
untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia
yang memegang perisai
dan dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan
rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi
yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali
- Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian
menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai
perdana menteri.
(Garuda Pancasila yang diresmikan 11
Februari 1950, tanpa jambul dan posisi cakar masih di belakang pita)
AG
Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila”
terbitan Departemen Hankam, Pusat Sejarah ABRI
menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan
pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali
Garuda Pancasila masih “gundul” dan “'tidak berjambul”' seperti bentuk sekarang
ini.
Inilah karya kebangsaan anak-anak
negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang
anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian
memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di
Hotel Des
Indes, Jakarta
pada 15 Februari
1950.
Penyempurnaan kembali lambang negara
itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul”
menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari
semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas
masukan Presiden Soekarno.
Tanggal 20 Maret
1950, bentuk akhir gambar
lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden
Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis
istana,
Dullah, untuk melukis
kembali rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara RIS
Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.
Hamid II diberhentikan pada 5 April
1950 karena tuduhan
bersekongkol dengan Westerling dan APRA-nya.
e.
Masa Akhir
Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid
II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan
menambah skala
ukuran dan tata warna
gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung,
Yayasan Idayu Jakarta pada
18 Juli
1974. Sedangkan Lambang
Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang
diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan
oleh Kraton Kadriyah,
Pontianak.
Dari transkrip rekaman dialog Sultan
Hamid II dengan Masagung
(1974) sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara,
disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang
lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno,
bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar
negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila
divisualisasikan dalam lambang negara.
Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret
1978 di Jakarta dan
dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.
( Sumber : http://id.wikipedia.org )
2. Pangeran Nata Kusuma
Pangeran Nata
Kesuma merupakan salah seorang tokoh pejuang dari kerajaan Landak yang
menentang penjajahan Belanda di Kalimantan Barat. Nama aslinya adalah Gusti
Abdurrani. Ia putera dari Panembahan Gusti Abdul Majid yang memerintah kerajaan
Landak pada tahun 1872-1875. Sejak masa mudanya, Pangeran Nata Kesuma telah
mempunyai sifat-sifat yang baik, ramah tamah, suka menolong dan selalu dekat
dengan rakyat. Pangeran Nata Kesuma sangat menentang kehadiran Belanda di
kerajaan Landak terutama berkenaan dengan adanya kontrak kerjasama antara
kerajaan Landak dan Belanda yang isinya lebih banyak merugikan kepentingan
kerajaan Landak dan rakyatnya.
Kontrak
kerjasama antara kerajaan Landak dengan Belanda dimulai pertama kali pada
tanggal 31 Mei 1845 semasa pemerintahan Panembahan Machmud Akamuddin. Perjanjian
tersebut dilanjutkan dengan ditandatanganinya kontrak kerjasama yang baru pada
tanggal 17 Juli 1859, sewaktu kerajaan Landak diperintah oleh Panembahan Ratu
Adi Kesuma Amaruddin. Perjanjian tahun 1859 ini dikenal dengan nama Lange
Contract 1859. Kemudian semasa pemerintahan wakil Panembahan Pangeran Wiranata,
pada tanggal 5 Juli 1883 diadakan lagi kontrak kerjasama yang baru antara
kerajaan Landak dengan Belanda. Perjanjian ini diperbaharui lagi pada masa
pemerintahan wakil Panembahan Landak Pangeran Mangkubumi Gusti Bujang dengan
ditandatanganinya Politiek Contract bertanggal 8 Oktober 1909.
Dari berbagai
kontrak kerjasama yang pertama sampai dengan Politiek Contract menunjukkan
bahwa semua kontrak itu secara berangsur-angsur telah mempersempit ruang gerak
dan kekuasaan kerajaan Landak. Hal tersebut dibuktikan dari isi kontrak yang
merugikan kerajaan Landak antara lain :
1.
Administrasi kerajaan Landak dipegang langsung oleh pemerintah Belanda, yang
dikuasakan langsung kepada Controlour. Jabatan Menteri dihapuskan, jabatan
Pembekal diubah menjadi Kepala Distrik dan jabatan Panembahan hanya berfungsi
sebagai mandor saja;
2. Apanage
dihapuskan dan diganti dengan belasting yang harus dibayar dalam bentuk uang;
3. Di samping
membayar belasting, rakyat juga diwajibkan melakukan kerja rodi selama 20 hari
dalam setahun;
4. Pajak 10%
dikenakan untuk hasil hutan dan pajak cukai bagi penambangan emas dan intan;
5. Perjanjian
Dua Belas Perkara yang dibuat oleh Raja Abdulkahar Ismahayana dengan saudara
seibunya Ria Kanuhanjaya dihapuskan;
6. Hukum Adat
mulai disingkirkan dan Pengadilan Negeri mulai diterapkan.
Hal tersebut
di atas membuat rakyat kerajaan Landak menderita. Di samping itu terjadi pula
perpecahan di antara keluarga kerajaan Landak antara yang pro dan kontra dengan
kehadiran Belanda. Melihat keadaan demikian, Pangeran Nata Kesuma yang pada
waktu itu menjabat sebagai Menteri di kerajaan Landak merasa sangat sedih dan
prihatin.
Pangeran Nata Kesuma merasa tidak senang dengan kehadiran Belanda di kerajaan
Landak karena dinilainya telah merugikan pihak kerajaan Landak sehingga rakyat
menjadi sengsara dan terjadi perpecahan di antara keluarga kerajaan. Pangeran
Nata Kesuma kemudian merencanakan perlawanan terhadap Belanda di kerajaan
Landak. Dengan dibantu oleh Ja’ Bujang yang bergelar Wedana Jaya Kesuma dan
beberapa orang kepercayaannya, yakni :
Panglima
Ganti, Panglima Bida, Panglima Daud dan Panglima Anggui, Pangeran Nata Kesuma
secara diam-diam mengorganisir suatu perlawanan terhadap Belanda. Pangeran Nata
Kesuma kemudian mengirimkan damak (sejenis tongkat komando) ke seluruh rakyat
di pelosok kerajaan Landak. Pengiriman damak tersebut dimaksudkan untuk
mengetahui seberapa besar dukungan dan sambutan rakyat kerajaan Landak dalam
mendukung rencana Pangeran Nata Kesuma menghadapi Belanda. Rakyat kerajaan
Landak menyambut dengan semangat ajakan dari Pangeran Nata Kesuma yang berniat
melawan Belanda.
Pemberontakan Pangeran Nata Kesuma berlangsung selama 2 tahun,
yakni tahun 1913-1914. Pemberontakan ini membuat Belanda kewalahan. Untuk
meredam pemberontakan, Belanda mengatur siasat untuk menangkap Pangeran Nata
Kesuma. Setelah mendatangkan bantuan pasukan dari Pontianak, Belanda menyerbu
ke tempat persembunyian Pangeran Nata Kesuma. Dengan menggunakan kapal Kahar,
pasukan Belanda langsung mendarat dan mengepung Istana Pedalaman dan menangkap
Pangeran Nata Kesuma.
Selanjutnya
Belanda membawa Pangeran Nata Kesuma dengan kapal menyusuri sungai Landak
menuju ke kampung Munggu (± 8 km dari Ngabang) menuju lokasi basis pertahanan
rakyat pengikut Pangeran Nata Kesuma. Siasat Belanda dengan membawa Pangeran
Nata Kesuma di atas kapal dimaksudkan untuk menunjukkan kepada para
pemberontak/pengikut Pangeran Nata Kesuma bahwa perdamaian antara Belanda
dengan Pangeran Nata Kesuma telah tercapai. Pangeran Nata Kesuma sempat
memberikan isyarat dengan tangannya kepada pengikutnya supaya perlawanan
diteruskan. Tetapi hal itu telah salah ditafsirkan oleh para pengikutnya
sehingga tidak terdengar bunyi tembakan sebagai tanda adanya perlawanan
terhadap Belanda.
Demikianlah
Belanda telah berhasil menjalankan siasatnya. Perang yang telah berkobar selama
dua tahun dapat dihentikan. Meskipun telah banyak korban berguguran, baik dari
pihak rakyat maupun Belanda, namun dengan dapat dihentikannya peperangan / pemberontakan
ini pihak Belanda merasa lega sehingga roda pemerintahan kolonial dapat
berjalan kembali. Setelah perjuangan fisik bersenjata pada tahun 1913-1914
tersebut, semangat perjuangan rakyat Landak masih tetap terus menyala, tetapi
berhubung dengan situasi tidak mengijinkan, maka perjuangan lebih diarahkan
kepada gerakan nasional.
Setelah ditangkap oleh Belanda, Pangeran Nata Kesuma kemudian diadili. Pengadilan Belanda di Batavia memutuskan bahwa Pangeran Nata Kesuma harus menjalani hukuman pembuangan ke Bengkulu. Sementara nasib pengikut Pangeran Nata Kesuma adalah sebagai berikut, Panglima Ganti dihukum 20 tahun penjara, Pangeran Daud melarikan diri ke Serawak Malaysia serta Panglima Bida dan Panglima Anggui tidak diketahui bagaimana nasibnya.
Setelah ditangkap oleh Belanda, Pangeran Nata Kesuma kemudian diadili. Pengadilan Belanda di Batavia memutuskan bahwa Pangeran Nata Kesuma harus menjalani hukuman pembuangan ke Bengkulu. Sementara nasib pengikut Pangeran Nata Kesuma adalah sebagai berikut, Panglima Ganti dihukum 20 tahun penjara, Pangeran Daud melarikan diri ke Serawak Malaysia serta Panglima Bida dan Panglima Anggui tidak diketahui bagaimana nasibnya.
Dalam pengasingannya di Bengkulu, Pangeran Nata Kesuma diikuti oleh dua orang
istrinya yaitu Encik Hajjah dan Nyimas Ahim serta beberapa puteranya
diantaranya Gusti Affandi. Selama pengasingannya, Pangeran Nata Kesuma tidak
pernah menerima bantuan keuangan dari pemerintah Belanda. Ia mencari nafkah untuk
membiayai kebutuhan sendiri.
Pangeran Nata
Kesuma meninggal dunia di kampung Kelawi Bengkulu pada tahun 1920 dan
dimakamkan di kampung tersebut. Masyarakat setempat di Bengkulu mengenal makam
Pangeran Nata Kesuma sebagai makam Raja Borneo. Kerangka jenazah Pangeran Nata
Kesuma dimakamkan kembali di kompleks pemakaman keluarga raja-raja Landak pada
tanggal 27 September 1981 di Ngabang.
Sikap dan
perbuatan Pangeran Nata Kesuma dalam menentang penjajah Belanda patut dijadikan
teladan. Tekad dan keputusannya dalam berjuang tetap kokoh walaupun Pangeran
Nata Kesuma menyadari bahwa ia dan pengikutnya hanya bermodalkan senjata
tradisional menghadapi pasukan Belanda yang bersenjata lebih modern. Namun,
terbukti pemberontakan yang dilakukannya mampu membuat Belanda kewalahan.
Generasi muda sebagai generasi penerus bangsa, hendaknya mewarisi jiwa dan
semangat anti penjajahan yang dimiliki oleh Pangeran Nata Kesuma. Rela
berkorban demi tegaknya keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak.
( Sumber : http://kjuniardi.blogspot.com )
3. Dr. Soedarso
Dokter
Soedarso merupakan salah seorang tokoh pejuang di Kalimantan Barat. Ia lahir
pada tanggal 29 November 1906 di kota Pacitan Jawa Timur. Ayahnya seorang
asisten wedana yang bernama Atmosoebroto. Dalam keluarganya Soedarso merupakan
anak yang keenam dari sebelas bersaudara.
Soedarso
kecil menyelesaikan sekolah dasarnya di Europesche Legere School (ELS) di kota
Madiun. Kemudian ia mendaftar ke School Tot Opleiding Van Indische Artsen
(STOVIA) di Jakarta. Selama menjadi mahasiswa, ia aktif sebagai anggota gerakan
pemuda pelajar nasional yang disebut Jong Java. Ia duduk sebagai staf redaksi
surat kabar Jong Java selama lima tahun (1925 – 1930), sampai Jong Java bersama
dengan organisasi pemuda lainnya seperti Jong Sumatera, Jong Ambon, Jong
Minahasa dilebur menjadi Indonesia Muda. Pada tahun 1931, ia berhasil
menamatkan sekolahnya di STOVIA Jakarta dan berhak menyandang gelar dokter.
Setelah lulus dari STOVIA, ia langsung diangkat sebagai dokter pemerintah
kolonial di Centrale Burgerlijke Ziekem Inrichtng (CBZ) atau Rumah Sakit Umum
Pemerintah di Semarang. Pada bulan Maret 1932, ia berpindah tugas dari Semarang
ke Bentang di Pulau Selayar, Sulawesi Selatan. Setelah empat tahun bertugas di
Pulau Selayar, pada bulan Februari 1936, ia berpindah tugas lagi ke CBZ
Surabaya. Dua tahun kemudian atau tepatnya pada bulan Februari 1938, dokter
Soedarso dipindahkan tugasnya dari Surabaya ke Kalimantan Barat.
Sewaktu
Jepang masuk ke Kalimantan Barat pada tahun 1942, dokter Soedarso sedang
bertugas di daerah Sanggau Kalimantan Barat. Tentara Jepang kemudian menyerbu
pasukan Belanda yang ada di Sanggau. Serangan tentara Jepang di Sanggau
mengakibatkan timbulnya korban jiwa dan luka-luka di pihak pasukan Belanda.
Dalam situasi kedua pihak yang masih saling bertempur, dokter Soedarso dengan
penuh keberanian melakukan pengobatan terhadap korban pasukan Belanda yang
terluka.
Sebagai salah
satu strategi pendudukannya di Kalimantan Barat, tentara Jepang melakukan
penangkapan dan pembunuhan terhadap dokter-dokter yang ada di Kalimantan Barat.
Tentara Jepang beralasan bahwa penangkapan terhadap dokter-dokter itu dilakukan
karena mereka telah menyebarkan wabah penyakit di Kalimantan Barat. Dalam usaha
penangkapan itu, dokter Soedarso berhasil meloloskan diri karena pada saat itu
ia sedang bertugas di daerah pedalaman dan berhasil disembunyikan oleh
penduduk. Dokter Soedarso tidak tertangkap oleh tentara Jepang namun mereka
berhasil menangkap dokter Sunaryo, dokter Agusjam, dokter Ismail, dokter
Diponegoro, dokter Zakir dan dokter Rubini. Tentara Jepang kemudian membunuh para
dokter yang tertangkap itu.
Pada bulan
Maret 1944, dokter Soedarso pindah ke Singkawang. Selanjutnya pada tahun 1945
ia pindah lagi ke Pontianak dan menjabat sebagai Direktur Rumah Sakit Umum
Sungai Jawi Pontianak. Setelah berakhirnya pendudukan Jepang di Indonesia
akibat kekalahan tentara Jepang melawan pasukan Sekutu dalam perang Asia Timur
Raya, bangsa Indonesia masih harus menghadapi orang-orang Belanda yang ingin
kembali menjajah bangsa Indonesia. Orang-orang Belanda yang tergabung dalam
Nederlands Indie Civil Administration (NICA) datang ke Indonesia dengan
membonceng pasukan Sekutu yang akan melucuti persenjataan tentara Jepang. Pada
masa kedatangan Belanda ini, dokter Soedarso selain bertugas di Rumah Sakit
Umum Sungai Jawi Pontianak juga bertugas sebagai dokter pemerintah di Balai
Pengobatan Umum Kampung Bali dan dokter di Rumah Sakit Jiwa Pontianak. Selain
bertugas sebagai dokter di Pontianak, ia juga bertugas di daerah Mempawah dan
Ngabang.
Pada tanggal
29 September 1945, tentara Australia sebagai perwakilan pasukan Sekutu mendarat
di Pontianak. Dalam menyikapi kedatangan pasukan Sekutu yang diwakili tentara
Australia tersebut, maka pada tanggal 15 Oktober 1945 dokter Soedarso memimpin
rapat umum di lapangan Kebun Sayur Pontianak dan menyampaikan resolusi kepada
tentara Australia yang isinya menolak kembali kedatangan orang-orang Belanda
yang tergabung dalam NICA di Kalimantan Barat. Dokter Soedarso kemudian
menggerakkan massa beramai-ramai dari Kebun Sayur menuju ke kediaman Residen
Pontianak. Dokter Soedarso dan Massa mengharap agar Residen Pontianak yang
bernama Asikin Nur tidak menyerahkan kekuasaannya kepada NICA. Namun usulan ini
ditolak oleh Residen Asikin Nur. Setelah tentara Australia meninggalkan
Pontianak, Residen Asikin Nur menyerahkan kekuasaannya kepada Van Der Zwaal
dari NICA. Penyerahan kekuasaan Residen Pontianak dari Residen Asikin Nur
kepada NICA ini mendapat tentangan dari masyarakat Pontianak dan sekitarnya.
Sebagai bentuk protes, sebagian besar pegawai pemerintahan di kota Pontianak
beramai-ramai melakukan mogok kerja, termasuk dokter Soedarso. Akibat pemogokan
kerja secara massal ini Belanda mengalami kesulitan dalam menjalankan
pemerintahannya. Untuk mengatasinya Belanda kemudian menangkap beberapa tokoh
politik yang dianggap berbahaya dan sebagai otak penggerak terjadinya pemogokan
massal. Mereka yang ditangkap antara lain dokter Soedarso, Radjikin dan Muzani
Abdul Rani. Mereka ditangkap dan ditahan di penjara Sei Jawi Pontianak. Namun
akhirnya mereka dibebaskan tanpa syarat.
Belanda kemudian mengeluarkan kebijakan dengan mengangkat Sultan Hamid II
sebagai Sultan Pontianak. Setelah diangkat sebagai Sultan Pontianak, Sultan
Hamid II menghendaki agar Kalimantan Barat menjadi sebuah negara federasi dan
tidak bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap dan
keputusan Sultan Hamid II tersebut mendapat tentangan dari dokter Soedarso dan
kawan-kawannya yang tergabung dalam organisasi Pemuda Penyongsong Republik
Indonesia (PPRI). Organisasi PPRI sendiri menghendaki agar Kalimantan Barat
bergabung ke dalam negara Republik Indonesia yang baru merdeka.
Untuk
menghadapi Belanda di Kalimantan Barat, selain dengan perjuangan fisik juga
dilakukan perjuangan diplomasi. Sebagai wadah perjuangan diplomasi maka
terbentuklah organisasi Gabungan Persatuan Indonesia (GAPI) pada tanggal 16
Desember tahun 1946 yang diketuai oleh dokter Soedarso. Organisasi ini
menentang usul Sultan Hamid II yang akan membentuk negara Kalimantan Barat.
Belanda kemudian khawatir kegiatan politik GAPI akan berkembang luas dan
semakin mendapat dukungan masyarakat. Oleh karena itu, Belanda segera menangkap
dokter Soedarso sebagai ketua GAPI pada tanggal 29 Februari 1948 dan menahannya
di penjara Cipinang Jakarta dengan masa hukuman 6 tahun penjara. Setelah dokter
Soedarso ditahan di Cipinang Jakarta, GAPI kemudian membentuk suatu panitia
dengan nama ”Panitia Urusan Dokter Soedarso”. Pada tanggal 30 Maret 1948, GAPI
mengutus M. A. Rani ke Jakarta untuk mengurus soal kasasi dokter Soedarso,
tetapi usaha ini tidak berhasil. Walaupun dokter Soedarso dalam masa penahanan,
namun dukungan politik yang diberikan kepadanya tetap mengalir. Hal ini dapat
dibuktikan sewaktu diadakan pemilihan anggota Dewan Kalimantan Barat (DKB) pada
tanggal 23 maret 1948, dimana dokter Soedarso meraih suara terbanyak.
Dokter
Soedarso bebas dari penjara Cipinang Jakarta setelah terjadi kesepakatan dalam
perjanjian Roem Royen pada akhir tahun 1949. Setelah bebas dari penjara, ia
pada tanggal 5 Januari 1950 dicalonkan sebagai Kepala Daerah Kalimantan Barat
menggantikan Sultan Hamid II, tetapi pemerintah Dewan Istimewa Kalimantan Barat
(DIKB) menolak usulan tersebut. Dokter Soedarso kemudian terpilih sebagai
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) mewakili daerah Kalimantan
Barat. Dokter Soedarso yang menjadi anggota tim peninjau dari komisi DPRS
pernah dikirim ke Kalimantan Barat untuk menyelidiki kasus huru-hara dan
pemogokan oleh masyarakat Pontianak terhadap Sultan Hamid II yang menolak
kedatangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Kalimantan Barat.
Pada tahun 1952, saat pelantikan R.M. Soeprapto menjadi Residen Kalimantan
Barat oleh Menteri Dalam Negeri M. Roem, S.H, dokter Soedarso diminta untuk
memberikan kata sambutan. Dalam acara yang juga dihadiri oleh Gubernur
Kalimantan Barat dokter Murjani, dokter Soedarso melontarkan keinginannya agar
Kalimantan Barat menjadi sebuah propinsi tersendiri. Usul dokter Soedarso
tersebut diterima dan kemudian terbentuklah Propinsi Kalimantan Barat pada
tanggal 29 Januari tahun 1957.
Selanjutnya
pada tahun 1958-1960, Gubernur R.D. Asikin dan Kolonel Sudharmo memilih dokter
Soedarso sebagai anggota Dewan Perencanaan Nasional (DEPERNAS) mewakili
Kalimantan Barat. Dalam rapat DEPERNAS, dokter Soedarso mengusulkan agar
pemerintah Indonesia melakukan program transmigrasi ke Kalimantan Barat
mengingat penduduknya masih jarang. Usulan program transmigrasi ke Kalimantan
Barat ini diterima dan berjalan dengan baik. Kemudian pada tahun 1960-1966,
dokter Soedarso dipilih sebagai anggota MPRS oleh DPRD tingkat I Kalimantan
Barat. Di dalam MPRS, dokter Soedarso mengusulkan agar badan-badan yang
mempunyai bidang yang sama dalam pemerintahan sebaiknya dilebur menjadi satu
badan saja demi penghematan tenaga, waktu dan uang. Selain berkecimpung dalam
dunia politik, dokter Soedarso sebagai seorang dokter juga aktif dalam kegiatan
sosial kemanusiaan. Pada tahun 1953, ia diangkat sebagai direktur sekaligus
ketua Yayasan Rumah Sakit Bersalin Pontianak sampai tahun 1976. Selama
kepemimpinannya, keadaan Rumah Sakit Bersalin Pontianak mengalami kemajuan.
Segala fasilitas ruangan dan peralatan telah dilengkapi sehingga kini menjadi
salah satu rumah sakit bersalin yang besar di Pontianak.
Pada tahun
1955, dokter Soedarso mendirikan Sekolah Pendidikan Bidan di Pontianak. Sekolah
ini dibuka karena masih kurangnya tenaga bidan di Kalimantan Barat. Selain itu,
ia juga melakukan perubahan status pendidikan perawat di Rumah Sakit Umum Sei
Jawi dari pendidikan kursus Juru Rawat menjadi Sekolah Perawat. Di luar kota
Pontianak, ia mendirikan Sekolah Juru Kesehatan di daerah Sintang dan Ketapang.
Sedangkan di Pemangkat, dokter Soedarso dikenal sebagai pendorong berdirinya
sebuah rumah sakit swasta yang dalam penggunaannya kemudian diserahkan kepada
Pemerintah Daerah.
Dokter Soedarso merupakan salah seorang perintis berdirinya sekolah kejuruan di Pontianak, diantaranya SMEA Negeri, Kursus Guru Taman Kanak-kanak dan SKKA Negeri Pontianak. Pada tahun 1958 sampai 1974, Departemen Kesehatan mengangkat dokter Soedarso sebagai Inspektur Kesehatan di Kalimantan Barat dan merangkap sebagai ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Kalimantan Barat. Di bidang pendidikan umum, ia juga dikenal sebagai salah seorang pelopor pendirian Universitas Tanjungpura (UNTAN) pada tahun 1959.
Dokter Soedarso merupakan salah seorang perintis berdirinya sekolah kejuruan di Pontianak, diantaranya SMEA Negeri, Kursus Guru Taman Kanak-kanak dan SKKA Negeri Pontianak. Pada tahun 1958 sampai 1974, Departemen Kesehatan mengangkat dokter Soedarso sebagai Inspektur Kesehatan di Kalimantan Barat dan merangkap sebagai ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Kalimantan Barat. Di bidang pendidikan umum, ia juga dikenal sebagai salah seorang pelopor pendirian Universitas Tanjungpura (UNTAN) pada tahun 1959.
Partisipasi dokter Soedarso dalam bidang kesehatan dan sosial di Kalimantan
Barat cukup besar. Oleh karenanya, pada tahun 1971, Pangdam XII Tanjung Pura
Soemadi, memberikan anugerah Tanda Penghargaan ”Satya Lanjtana Dharma Pala”
kepada dokter Soedarso atas jasanya dalam bidang kesehatan sewaktu menumpas
gerakan PGRS di Kalimantan Barat. Kemudian pada tahun 1975, ia mendapatkan
penghargaan tanda ”Satya Lancana Kebaktian Sosial” dari Departemen Sosial
Kalimantan Barat.
Dalam
kehidupan keluarga, dokter Soedarso pernah menikah dua kali. Pernikahannya yang
pertama dengan Soetitah dan dikaruniai tujuh orang anak. Ketujuh orang anak
dokter Soedarso yang lahir dari perkawinannya dengan Soetitah bernama Agus
Sutiarso, Agus Setiadi, Andarwini, Sriyati Supranggono, Sri Rezeki Norodjati,
Agus Setiawan dan Sri Astuti Suparmanto. Sedangkan pernikahannya yang kedua
dengan Hartati pada tahun 1962 setelah istri pertamanya meninggal dunia. Dari pernikahannya
yang kedua, dokter Soedarso dikaruniai seorang orang anak perempuan bernama
Savitri Tri Haryono.
Pada usia 69 tahun dokter Soedarso meninggal dunia karena sakit. Dokter Soedarso meninggal pada hari Senin tanggal 8 Maret 1976 di Rumah Sakit Sei Jawi Pontianak. Beliau dimakamkan di pemakaman Muslim di Kampung Bangka Pontianak.
Pada usia 69 tahun dokter Soedarso meninggal dunia karena sakit. Dokter Soedarso meninggal pada hari Senin tanggal 8 Maret 1976 di Rumah Sakit Sei Jawi Pontianak. Beliau dimakamkan di pemakaman Muslim di Kampung Bangka Pontianak.
Dokter
Soedarso adalah seorang tokoh yang ulet dan berwawasan luas. Jasa dan
pengabdiannya begitu besar untuk masyarakat Kalimantan Barat sehingga generasi
muda sebagai generasi penerus bangsa diharapkan mampu mengikuti jejak-jejaknya.
Sikap dan perjuangannya layak menjadi teladan bagi generasi muda penerus
bangsa.
( Sumber : http://equatoronline.blogspot.com
)
Mungkin untuk kesempatan kali ini, cukup 3 Tokoh
(Pahlawan) dulu yang di share .. dan tentunya akan saya sambung pada kesempatan
yang akan datang .. karena masih banyak tokoh-tokoh atau pahlawan Kalimantan
Barat yang mestinya kita ketahui ( untuk pengetahuan ).
Salam Sukses Buat Kita semua .. !!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan sopan & baik